jompa

jompa
tempat simpan hasil bumi

Jumat, 11 Februari 2011

KIAT-KIAT MENGHINDARI PERPECAHAN

Oleh.stadz Abu Ihsan Al Atsari

Sebelum membicarakan perpecahan, ada baiknya kita membicarakan terlebih dulu tentang ikhtilaf yang merupakan akar perpecahan. Ketahuilah, ikhtilaf (perselisihan) adalah sunnatullah yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَيَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ . إِلاَّمَن رَّحِمَ رَبُّكَ

Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. [Hud:118-119]

Jadi, ikhtilaf merupakan suratan takdir yang Allah kehendaki, tetapi Allah tidak meridhainya. Jika ada yang bertanya, ’bagaimana mungkin dua perkara dapat bersatu, yakni kehendak Allah dan kebencian-Nya?’ Maka jawabnya ialah, kehendak itu ada dua macam. Yaitu kehendak untuk diri sendiri dan kehendak untuk orang lain.

Adapun kehendak untuk diri sendiri, sudah pasti disukai dan disenangi, karena di dalamnya pasti terdapat kebaikan. Sedangkan kehendak untuk orang lain, adakalanya memang ia menghendakinya, namun ia tidak mendapat keuntungan apapun darinya. Hanya sebagai wasilah untuk mendapat sesuatu yang dikehendaki dan diinginkan, meskipun sebenarnya tidak disukai.

Sebagai contoh, obat yang pahit sekali tentu sangat tidak disukai. Apabila diketahui, bahwa hanya dengan meminumnya kesembuhan baru dapat diperoleh, maka ia harus meminumnya. Contoh lainnya, seorang yang harus menempuh perjalanan yang berat dan sulit, namun bila diketahui bahwa hanya bisa sampai ke tempat tujuan dengan menempuhnya, maka ia harus menempuhnya.

Oleh sebab itu, tidak dibenarkan menutupi perselisihan atau menyembunyikannya, berlindung dibalik perselisihan atau menjadikannya sebagai tameng. Sebab kebenaran pasti akan tampak, meski bagaimanapun usaha untuk mencegahnya. Dan juga, mengenal letak-letak kesalahan merupakan kewajiban setiap muslim. Agar mengtahui kedudukan mereka. Sehingga tidak menghadapi masalah yang sama berulang kali. Ditambah lagi, bahwa menyembunyikan perselisihan dan menampakkan persatuan semu merupakan tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Sekiranya mereka sadar, tentunya akan berusaha menyelesaikan segala perselisihan dari akarnya. Sehingga dapat bersatu dan terhindar dari perpecahan. Sebaliknya, mereka menampakkan seolah-olah bersatu padu.

Menyembunyikan perselisihan, merupakan tindakan yang dapat membinasakan pribadi maupun kelompok. Juga merupakan sebab kehancuran masyarakat dan kemunduran budaya. Disamping dapat mendatangkan laknat yang pernah dijatuhkan atas Bani Israil, karena tidak saling mencegah perbuatan mungkar diantara mereka. Allah berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ . كَانُوا لاَيَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. [Al Maidah:78-79].

Mengetahui letak kesalahan dan memperbaikinya, merupakan keselamatan dan kekuatan bagi umat. Menyembunyikan perselisihan dan mendiamkannya, dengan alasan dapat mengganggu umat Islam dan mengacau-balaukan barisan kaum mukminin, termasuk kekeliruan berpikir manusia dan tipu daya syetan.

Pada hakikatnya, kaum muslimin tidak bisa terlepas dari penyakit-penyakit umat terdahulu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,"Umat ini akan dijangkiti penyakit-penyakit umat terdahulu."
Para sahabat bertanya,"Wahai Rasulullah, apakah penyakit umat terdahulu itu?" Rasulullah n menjawab, "Takabbur, sombong, bermegah-megahan dan berlomba-lomba mengejar dunia, saling membenci, saling hasad hingga terjadilah kedurhakaan."[1]

Di sisi lain, kaum muslimin dituntut agar menjadi umat yang satu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku. [Al Anbiya:92].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengumpamakan umat ini seperti tubuh yang satu. Jika salah satu dari anggota tubuh mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan panas. Setiap kali muncul perpecahan diantara kaum muslimin, pasti akan menimbulkan dampak negatif. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu [Al Anfal:46].

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatukan kaum muslimin, setelah dahulunya mereka terpecah-belah. Pada masa Jahiliyah, mereka berpecah-belah dan saling memusuhi satu sama lain. Bahkan diantara satu kabilah saja, saling bermusuhan. Apalagi antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Peperangan dan persengketaan terus terjadi seakan tiada ujungnya. Bangsa Arab ketika itu, tercabik-cabik, terpecah-belah dan saling membenci. Kesetiaan hanya diberikan kepada kabilah masing-masing. Setiap kabilah memerangi kabilah lainnya. Yang kuat memakan yang lemah. Yang zhalim menguasai yang teraniaya.

Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus RasulNya dengan membawa hidayah dan dien yang haq, mengajak manusia kepada agama Allah, mengajak mereka agar menaati Allah dan RasulNya, maka sirnalah permusuhan diantara mereka dan berganti menjadi persaudaraan yang saling mengasihi satu sama lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang keadaan ini:

فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali Imran 103].

Permusuhan itu berganti menjadi persaudaraan berkat nikmat Allah. Yaitu nikmat iman dan ittiba' (ketaatan) kepada Rasul. Mereka, tidaklah disatukan dengan harta atau ambisi. Yang mempersatukan mereka hanyalah iman dan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersatukan mereka bukan dengan materi dunia atau harta yang dihamburkan-hamburkan buat mereka. Sebab hanya hal itu saja, tidak akan mampu mempersatukan hati yang saling bercerai -berai. Bukankah Allah SUbhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مَّآأَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمٌْ

Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. [Al Anfal:63].

Islam merupakan dien yang haq. Dien yang telah menyatukan hati yang tercerai-berai dan saling bermusuhan. Dengan hati yang satu itu, kaum muslimin meluaskan daulah Islam membentang melewati Jazirah Arab sampai ke seantero penjuru dunia. Umat Islam tersebar dari barat sampai ke timur, dari utara sampai ke selatan, menjadi daulah yang satu. Dien inipun tersebar ke seluruh penjuru dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabadikannya dalam Al Qur'an:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah yang mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walupun orang-orang musyrik tidak menyukainya. [At Taubah:33].

Terwujudlah apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala janjikan kepada mereka. Dien ini berhasil mengatasi segala agama. Hati kaum muslimin, yang Arab maupun non Arab, menjadi bersatu-padu. Dalam kesempatan ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّكُمْ مِنْ آدَمَ وَ آدَمُ مِنْ تُرَابٍ لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِأَبْيَضَ عَلَى أَسْوَدَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam dibuat dari tanah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non Arab, orang kulit putih atas orang kulit hitam, kecuali dengan ketakwaan.

Dengan itulah Islam menyatukan hati dan bangsa, hingga menjadi umat yang satu dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tidak akan ada yang mampu menyatukan hati dan merajut persatuan antara kelompok yang saling bertikai, kecuali dien ini. Dien yang dimaksud di sini ialah dien yang shahih. Karena dien yang palsu tidak akan mampu menyatukan hati, bahkan sebaliknya memecah-belah dan mencerai-beraikan hati. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. [Al An’am:159].

Dien yang dahulu telah berhasil menyatukan hati kaum muslimin inilah yang mampu menyatukan hati mereka kaum muslimin sekarang, sampai hari kemudian kelak dengan izin Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Darul Hijrah Malik bin Anas rahimahullah ,"Tidak akan baik generasi akhir umat ini, kecuali dengan apa-apa yang telah menjadikan baik generasi awalnya."

Perkara yang telah menyatukan umat Islam dahulu itulah yang dapat menyatukan mereka sekarang. Dan perkara yang telah menyatukan generasi awal umat ini, ialah dien yang shahih. Generasi akhir umat ini tidak akan menjadi bersatu, kecuali dengan menegakkan dien yang shahih, aqidah yang bersih dan ketaatan (ittiba') yang murni kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An Nisa’:59].

Yakni lebih baik untuk masa sekarang dan lebih baik untuk masa mendatang. Arti kata ta'wila dalam ayat di atas bermakna akibat dan kesudahannya. Agama inilah yang mampu menyelesaikan segala macam bentuk pertikaian dan yang mampu mengembalikan kebenaran pada tempatnya semula. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَااخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَىْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ ذَلِكُمُ اللهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali.[Asy Syura:10].

Penegakan agama ini dengan ikhlas dan benar, akan dapat menyatukan hati yang berselisih dan menyelesaikan segala macam bentuk perpecahan di antara manusia. Mungkin ada yang bertanya, realita yang kami saksikan, bahwa kaum muslimin berselisih dan berpecah-belah?

Jawabannya, berarti mereka belum menegakkan dien ini sebagaimana mestinya. Pasti ada kekeliruan dalam pelaksanaannya. Atau bukanlah termasuk dien yang tegak seperti yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla. Maka, menurut skala besar-kecilnya kekeliruan dalam penegakan agama ini, begitu pulalah kadar perselisihan dan perpecahan yang terjadi. Sekiranya dien ini ditegakkan dengan benar sebagaimana yang diperintahkan Allah, niscaya tidak akan terjadi perpecahan dan perselisihan selama-lamanya di antara kaum muslimin. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memungkiri janjiNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan, bahwa Dia telah menjanjikan bagi siapa saja yang menegakkan dien ini dengan benar, mereka pasti terhindar dari perselisihan dan pertikaian yang menyebabkan mereka terpecah-belah.

Apabila dien ini telah terbukti berhasil menyatukan generasi salaf yang berbeda suku bangsa, negara dan warna kulit, maka dien ini pulalah yang mampu -dengan izin Allah- menyatukan generasi zaman ini dan generasi mendatang sampai hari kemudian kelak.

Barangsiapa menegakkan dien ini, maka orang-orang pasti mengikutinya. Karena ia menyeru kepada agama Allah, bukan mengajak kepada hizbiyah, bukan karena kepentingan pribadi dan bukan pula karena fanatik golongan atau nasionalisme jahiliyah.

Jadi, persatuan yang penuh berkah tersebut tidaklah diperoleh dengan harta, kemuliaan dan kekuatan kita. Namun diperoleh dengan penegakan agama. Itulah kunci persatuan dan jalan mencegah perpecahan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ

Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. [Asy Syura:13]

Bangsa-bangsa kafir tidak akan mampu menumpas habis umat Islam, meskipun mereka bersatu dari segala penjuru. Dan sungguh mereka telah bersatu untuk tujuan itu, sebagaimana disebutkan secara jelas dalam sebuah hadits riwayat Tsauban Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لاَ يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لاَ يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لاَ أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لاَ أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membentangkan bumi kepadaku, sehingga aku dapat melihat belahan timur dan belahan baratnya. Dan sesungguhnya, kekuasaan umatku akan mencapai belahan bumi yang dibentangkan kepadaku itu. Dan telah diberikan kepadaku dua perbendaharaan: Merah (Romawi) dan Putih (Parsi). Aku meminta kepada Rabb-ku, agar umatku jangan dibinasakan dengan musibah paceklik yang berkepanjangan, dan jangan dikuasakan kepada musuh dari luar kalangan mereka, hingga merampas seluruh negeri mereka, kecuali musuh dari kalangan mereka sendiri. Lalu Allah berfirman,“Hai Muhammad, bila Aku telah menetapkan sesuatu, maka ketetapan itu tidak akan dirubah lagi. Dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu, bahwa Aku tidak akan membinasakan mereka dengan paceklik yang berkepanjangan, dan tidak akan menjadikan musuh berkuasa atas mereka selain dari kaum mereka sendiri, sesungguhnya musuh-musuh itu tidak akan dapat merampas seluruh negeri mereka, sekalipun manusia yang ada di belahan bumi ini berkumpul menghadapi mereka, sampai nantinya umatmu saling menghancurkan diantara mereka sendiri dan sebagian mereka menawan sebagian lainnya.”

Apabila kita tilik kembali sejarah Islam yang benar, kita akan mendapatkan, bahwa persatuan kaum muslimin merupakan kekuatan dan kemenangan. Perpecahan mereka adalah sebuah kelemahan dan kekalahan. Pada masa nubuwah, masa Khulafaaur Rasyidin, masa Daulah Bani Umayyah dan masa keemasan Bani Abbasiyah, kaum muslimin masih bersatu. Sehingga daulah mereka terbentang sampai ke berbagai belahan dunia. Mereka menebarkan kasih-sayang ke seluruh penjuru dunia. Setelah peperangan salib, umat ini dilanda perpecahan. Itulah sebab kekalahan mereka. Jika umat ini bersatu, tentu akan meraih kemenangan. Sekarang ini umat Islam terpecah-belah, lemah dan saling bermusuhan. Kenyataan yang kita saksikan, mereka didera kekalahan demi kekalahan.

Sebenarnya, ini bukanlah kaidah yang hanya berlaku dalam kehidupan manusia saja. Akan tetapi juga berlaku di alam ini. Persatuan adalah kekuatan! Bukan hanya dalam kehidupan manusia saja, bahkan juga dalam peraturan alam semesta ini. Seutas tali yang lemah, jika dikuatkan dengan tali-tali semisalnya, akan menjadi tali yang kuat dan dapat menyeret beban berat. Alam semesta yang amat besar ini, juga terdiri atas unsur-unsur yang disatukan.

Seorang ahli hikmah menyampaikan pesan ini kepada anak-anaknya menjelang ajalnya tiba. Dia mengajarkan kepada anak-anaknya pelajaran tentang persatuan. Dia memberikan sekumpulan lidi yang telah disatukan dengan pengikat, mereka tidak mampu mematahkannya. Ketika pengikat itu diurai dan lidi itu terpisah-pisah, mereka dapat mematahkannya dengan mudah satu-persatu. Lalu ia berkata:

Apabila anak-anak panah itu dipadukan jadi satu
Niscaya tidak akan mampu untuk dipatahkan
Namun jika dicerai-beraikan
Niscaya akan mudah dipatahkan satu-persatu.

Secara umum, perpecahan dapat terjadi karena tiga sebab utama.
Pertama : Perbedaan yang sangat mendasar, yakni perbedaan agama.
Kedua : Mengikuti hawa nafsu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya. [Ali Imran:7]

Ketiga : Mengikuti bid'ah dan tradisi adat-istiadat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَآأُرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ

(Rasul itu) berkata,"Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab,"Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." [Az Zukhruf:24].

Tiga sebab utama itu, seluruhnya mengacu kepada satu factor, yaitu jahil tentang inti syari’at.

Dalam sebuah kisah disebutkan. Pada satu hari, Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu menyendiri. Dia berkata dalam hatinya, mengapakah umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu?! Lalu ia memanggil Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu. Umar bertanya kepadanya,"Mengapakah umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu. Kiblat mereka juga satu dan Kitab suci mereka juga satu?" Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu menjawab,"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan kepada kita. Kita membacanya dan mengetahui maksudnya. Lalu datanglah sejumlah kaum yang membaca Al Qur'an, namun mereka tidak mengerti maksudnya. Maka setiap kaum punya pendapat masing-masing. Jika demikian realitanya, maka wajarlah mereka saling berselisih. Dan jika telah saling berselisih, mereka akan saling menumpahkan darah." [2]

Jahil tentang inti syari’at akan melahirkan manusia-manusia yang saling berselisih pendapat dan memunculkan jalan-jalan yang bercerai-berai. Jika setiap orang mengikuti jalan masing-masing, pastilah mereka terpecah-belah. Perpecahan seperti ini mengesankan adanya perpecahan hati. Mengisyaratkan adanya permusuhan dan kebencian. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. [Ali Imran:103].

Allah menjelaskan, bahwa kasih-sayang itu hanya dapat terjadi bilamana bersatu. Sekiranya apa yang diklaim oleh jama'ah-jama'ah yang berbilang jumlahnya itu dan kelompok-kelompok yang saling berselisih itu benar -bahwa mereka berada di atas Al Qur'an dan As Sunnah- niscaya mereka tidak akan berpecah-belah. Sebab, kebenaran itu satu. Tidak berbilang. Perpecahan mereka merupakan bukti kuat, bahwa mereka saling berselisih. Sekiranya mereka berada di atas satu jalur, tentunya mereka tidak akan tercerai-berai. Karena Islam itu satu dan ajarannyapun juga satu. Maka, konsekwensi hukumnya juga satu, tidak berbeda-beda. Perpecahan mereka itu disebabkan setiap kelompok berpegang kepada pedoman masing-masing. Disebutkan dalam Al Qur'an:

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar Rum:32]

Namun perlu diketahui, perpecahan dan perselisihan pasti terjadi. Tidak akan bisa dihindari. Hanya saja kaum muslimin disyari’atkan agar berusaha mencegahnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menerangkan jalan menuju kalimat yang satu. Yaitu dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi segala yang dilarang olehNya, menurut cara yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tujuan dan telah menetapkan cara berikut wasilahnya. Kedua unsur itu merupakan syarat ibadah yang shahih (benar), yang akan membuahkan ketaqwaan dan akan melindungi seorang hamba. Maka, janganlah melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jadi, pintu dialog, kritik dan nasihat harus senantiasa terbuka, agar seluruh nilai-nilai kebaikan bisa tercurah dalam kehidupan Islami. Sehingga dapat menutup setiap celah-celah yang masih menganga. Bahwa setiap pribadi muslim merasa terawasi melalui proses nasihat dan amar ma'ruf nahi mungkar.

Sesungguhnya kritik, nasihat, pembetulan dan koreksi, bukanlah barang baru dalam kehidupan masyarakat Islami. Bahkan metode Qur'ani dan bimbingan nabawi yang telah menempa generasi rabbani hingga mencapai puncaknya dan sama sekali tidak menyisakan keraguan, kesamaran dan kecemasan.

Proses pembenahan dan pembetulan ini diambil dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. yang menjadi teladan umat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. melakukan pembetulan dan pembenahan dalam beberapa pendapat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. sebelum wahyu turun. Meskipun demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. tidak pernah menyembunyikan sesuatupun. Demikian pula Al Qur'an menyinggung beberapa bentuk kesalahan dan kekurangan atas pribadi tertentu ataupun kolektif, sehingga dengan langkah seperti itu, nantinya akan tertempa satu generasi rabbani yang jarang ditemui. Satu generasi yang layak dijadikan sebagai teladan.

Itu merupakan manhaj Qur'ani yang sangat agung. Terwujud dalam etika dan akhlak nabawi yang abadi dan selalu disuarakan oleh umat Islam dengan lantang. Sehingga mereka dapat mengetahui manhaj yang benar dan dapat mengelakkan kesalahan-kesalahan dalam perjalanan mereka. Selalu mendengarkan nasihat untuk diri mereka, tidak mengelak dan memalingkan diri darinya, apapun alasan dan dalihnya.

Generasi panutan umat ini telah menerapkan metode nasihat ini secara konsisten. Mulai dari derajat yang paling tinggi, sampai derajat yang paling rendah. Nasihat merupakan ajaran syari’at yang kita gunakan sebagai sarana beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi orang yang ikhlas niatnya dan suci batinnya. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. :

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat!” Kami bertanya "Bagi siapa?" Rasul menjawab,"Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, bagi penguasa dan bagi segenap kaum muslimin." [3]

Akan tetapi, sebagian orang yang didorong oleh semangat mengejar mashlahat, tidak menginginkan sempurnanya proses nasihat ini secara nyata. Alasannya, bahwa cara seperti itu membuka peluang bagi musuh untuk mengetahui rahasia kaum muslimin. Berangkat dari situ, musuh akan menyerbu mereka.

Sebenarnya, dalam benak mereka telah tercampur aduk antara metode pemberian nasihat kepada pribadi untuk meluruskan kekurangan atau kesalahannya dengan metode pemberian nasihat kepada kelompok, golongan, jama'ah, hizb atau madzhab yang memiliki arah tersendiri. Pemberian nasihat kepada mereka bisa dilakukan dalam bentuk yang nyata. Sebab mashlahat umum seperti ini perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin.

Ketahuilah wahai saudaraku fillah, sesungguhnya musuh yang telah memukul kita bertubi-tubi lebih mengetahui kesalahan kita. Sebab mereka senantiasa berlindung di balik kesalahan itu. Mereka memukul umat Islam dari arah itu. Mereka senantiasa berusaha mempertahankan kesalahan itu, memupuk, mengembangkan dan melanggengkannya. Serta berusaha agar kita tidak mampu mendeteksi dan memperbaikinya.

Mempertahankan diri dalam kesalahan dan tidak mengungkapkannya kepada generasi penerus serta tidak memperbaikinya akan melumpuhkan umat ini.

Sesungguhnya falsafah toleransi dan anti nasihat, bukan hanya akan menegakkan pilar-pilar kesalahan. Namun juga menumbuh-suburkan kesalahan. Falsafah seperti itu hanya mengulang kesalahan demi kesalahan. Oleh sebab itu, yang berbahaya adalah menerima kesalahan dan meridhainya, bukanlah menjelaskan kesalahan dan memperbaikinya.

Kebanyakan orang-orang yang menghindari kritik dan nasihat, tidaklah kami ragukan keikhlasan mereka. Akan tetapi, kami meragukan kemampuan mereka dalam mengetahui al haq. Karena bila hanya sekedar ikhlas saja, tidaklah cukup untuk mencapai tujuan. Berapa banyak orang-orang yang menghendaki kebaikan tidak berhasil meraihnya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu.

Sesungguhnya proses pemberian nasihat tidaklah mengurangi urgensi keikhlasan. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan nasihat adalah keikhlasan itu sendiri.

Metodologi ahli hadits dalam memikul tanggung jawab pembelaan terhadap sunnah-sunnah Nabi, ialah dengan meletakkan dasar-dasar ilmu jarh wa ta'dil. Sekiranya kaum muslimin sekarang ini memegang teguh dasar-dasar ilmu ini dalam kehidupan mereka, niscaya mereka akan lebih dekat kepada kebenaran.

Sebagian perawi rajin beribadah pada siang dan malam hari. Keikhlasan mereka sudah tidak diragukan lagi. Meskipun begitu, riwayat-riwayat mereka ditolak karena kualitas hafalan mereka jelek dan kelalaian yang menguasai mereka. Sampai-sampai keikhlasan itu mendorong mereka memalsukan hadits-hadits Nabi. Apabila mereka ditanya tentang hadits Nabi yang berbunyi:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka sesungguhnya ia telah menyiapkan tempatnya di neraka."
Mereka berkata,"Kami tidak berdusta atas nama beliau, tapi kami berdusta untuk beliau."

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Itulah bukti kejahilan dan dangkalnya pikiran mereka, sekaligus bukti kejahatan dan kedustaan mereka. Sebab Rasulullah tidak membutuhkan orang lain untuk menyempurnakan dan meninggikan syari’at yang beliau bawa."[4]

Alasan seperti itu jelas tertolak. Sebab berdusta untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan berdusta atas nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Hanya motivasinya saja yang berbeda. Namun dampaknya sama. Dan setiap perbuatan diukur dari akibat yang ditimbulkan.

Hendaknya saudara-saudara kami menyadari, bahwa mereka tak ubahnya seorang ibu yang penuh kasih saying. Sampai-sampai, karena kasih-sayang kepada anaknya yang semata wayang itu, ia tidak meluruskan perangai anaknya yang buruk dan tidak mendidiknya demi menjaga perasaan anaknya. Ketika anak tersebut beranjak dewasa, ia dapati anaknya tidak mampu memecahkan problematika-problematika yang dihadapinya.

Kasih-sayang yang cacat ini, bisa menggiring kepada kehancuran. Sebab si ibu telah menghalangi anaknya dari orang yang bisa mendidik dan membimbingnya, hanya karena khawatir anaknya takut berhadapan dengan pembimbing atau merasa tersiksa melihat anaknya diterapi.

Sudah barang tentu, mewaspadai perpecahan dan mencegahnya sebelum terjadi, lebih baik daripada menyelesaikannya setelah terjadi.

Disamping faktor-faktor yang telah kami sebutkan di atas, ada dua beberapa faktor lain yang dapat mencegah terjadinya perpecahan.

Pertama : Faktor umum.
Yaitu berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.

Kedua : Faktor khusus, meliputi:
•- Mengamalkan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya. Barangsiapa mengikuti petunjuk Nabi, pasti ia mendapat petunjuk -insya Allah- dan dapat melaksanakan agama berdasarkan bashirah ilmu. Dengan begitu, tanpa di sadarinya ia akan terhindar dari perselisihan yang membawa kepada perpecahan.

•- Menerapkan pedoman dan petunjuk generasi Salafus Shalih, para sahabat, tabi’in dan imam-imam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

•.- Memperdalam ilmu agama, dengan mempelajarinya dari alim ulama dan dengan metodologi yang benar berdasarkan petunjuk ahli ilmu.

•- Meminta bimbingan kepada alim ulama yang berjalan di atas manhaj yang benar.

Alhamdulillah mereka masih banyak dan tidak mungkin umat Islam akan kehabisan ulama pewaris Nabi. Barangsiapa berasumsi, bahwa mereka akan habis, berarti ia berasumsi, bahwa agama Islam akan berakhir. Asumsi seperti ini jelas tidak benar. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berjanji akan menjaga agama Islam sampai hari kiamat.

Karena umat Islam merupakan perwujudan para ulama. Dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang merupakan perwujudan para ahli ilmu dan ahli fiqih akan tetap ada sampai hari kiamat. Barangsiapa yang menyangka, bahwa ahli ilmu akan habis atau tidak ada lagi ulama yang diteladani dan menjadi tempat bertanya serta sebagai rujukan bagi umat, berarti ia telah menyangka, bahwa tidak akan ada lagi Thaifah Manshurah dan tidak ada pula Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Berarti pula, kebenaran akan hapus dan sirna dari tengah-tengah manusia. Ini jelas menyelesihi nash-nash qath’i dan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah jelas.

•- Menjauhi sikap meremehkan alim ulama atau menyimpang dari manhaj mereka dengan segala model dan bentuknya yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.

•- Keharusan mengantisipasi fenomena-fenomena perpecahan.

•- Semangat memelihara keutuhan jama’ah kaum muslimin.
Setiap muslim, khususnya para penuntut ilmu dan juru dakwah, wajib berusaha memelihara keutuhan jama’ah kaum muslimin.

•- Barangsiapa ingin berpegang kepada Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan selamat dari perpecahan –insya Allah- maka ia harus melazimi ahli ilmu dan kaum yang shalih dari kalangan orang-orang taqwa, orang-orang baik dan istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya. Tidak meyesatkan rekan sejawatnya. Barangsiapa menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia komitmen terhadap al jama’ah. Karena al jama’ah itu adalah sunnah Nabi dan sunnah sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

•- Untuk menanggulangi terjadinya perpecahan, kita harus menjauhi hizbiyah (bergolongan-golongan), sekalipun untuk tujuan dakwah. Juga menjauhi sikap fanatik golongan, apapun bentuk dan sumbernya.

•- Menegakkan kewajiban nasihat serta amar ma’ruf nahi mungkar dengan ilmu dan menurut kaidah-kaidah syar'i.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. HR Al Hakim dari hadits Abu Hurairah z , dengan sanad hasan, insya Allah.
[2]. Silakan lihat kitab Al I'tisham, karya Asy Syathibi, (II/691).
[3]. HR Muslim dan lainnya dari hadits Tamim Ad Dari z .
[4]. Al Ba'its Al Hatsits Fi Ikhtishar Ulumil Hadits, halaman 79.

ANAK PERHIASAN SEKALIGUS UJIAN

Allooh Subhannahu Ta’ala berfirman:
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ
“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia “(QS. Al-Kahfi:46)
Ya tentu saja, anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Betapa jiwa kita merasa bahagia menyaksikan mereka dan hati pun bergembira saat bercanda ria dengan mereka.
Namun waspadalah, sebab anak adalah fitnah (ujian).
Dan Allooh Subhannahu Ta’ala berfirman:
إِنَّمَآ أَمۡوَٲلُكُمۡ وَأَوۡلَـٰدُكُمۡ فِتۡنَةٌ۬‌ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُ ۥۤ أَجۡرٌ عَظِيمٌ۬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghaabun:15)
Jangan kita terpedaya!
Anak, kadang membuat seorang hamba menjadi angkuh dan tidak mensyukuri nikmat Allooh Subhannahu Ta’ala. Ia menjadi angkuh dan berbangga diri karena anaknya, merasa paling tinggi dari orang lain. Ia sombong dan takabbur, bahkan merendahkan orang lain dan berlaku aniaya. Maka hal itu hanya mengantarkannya ke neraka.
Simak firman Allooh Subhannahu Ta’ala berikut ini:
(وَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِى قَرۡيَةٍ۬ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَـٰفِرُونَ (٣٤
(وَقَالُواْ نَحۡنُ أَڪۡثَرُ أَمۡوَٲلاً۬ وَأَوۡلَـٰدً۬ا وَمَا نَحۡنُ بِمُعَذَّبِينَ (٣٥
(قُلۡ إِنَّ رَبِّى يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُ وَلَـٰكِنَّ أَڪۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ (٣٦
وَمَآ أَمۡوَٲلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَـٰدُكُم بِٱلَّتِى تُقَرِّبُكُمۡ عِندَنَا زُلۡفَىٰٓ إِلَّا مَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ
(لَهُمۡ جَزَآءُ ٱلضِّعۡفِ بِمَا عَمِلُواْ وَهُمۡ فِى ٱلۡغُرُفَـٰتِ ءَامِنُونَ (٣٧

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:”Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”.
Dan mereka berkata:”Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan di azab”.
Katakanlah:”Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam jannah). (QS. Saba’: 34-37)
Anak, kerap kali mendorong ayah untuk meghalalkan usaha yang haram. Demi masa depan anak katanya…
Ia pun berusaha keras mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dengan segala cara, sekalipun ia harus mendzhalimi yang lemah, memusuhi manusia atau memutus tali silaturrahim.

Anak, kadang membuat seorang hamba menjadi kikir dan penakut. Saat ingin bersedekah, setan datang kepadanya seraya berkata,”Anakmu tadi minta ini dan itu! Maka demi anaknya, ia pun urung menginfakkan hartanya di jalan Allooh Subhannahu Ta’ala. Padahal yang diminta oleh anaknya itu bukanlah suatu kebutuhan primer.

Benarlah sabda Rosulullooh Shololloohu ‘alahi Wassallam:
“Sesungguhnya anak bisa membuat seseorang menjadi bakhil, penakut, jahil dan bersedih.” (HR. Al-Hakim (5284) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jaami’(1990))

Ketika ia harus mengatakan kalimat yang hak, ia berfikir dua kali. Ia takut petaka akan menimpa dirinya dan anak kesayangannya. Ia pun memilih diam daripada menyampaikan kebenaran.
Ketika anak jatuh sakit, rasa iba mendorong orang tua bertindak bodoh, melanggar syari’at agama dengan ucapan maupun perbuatannya, mengugat takdir Allooh dan tidak menerima ketetapan-Nya. Ia pun membawa anaknya ke dukun padahal Nabi melarang pebuatannya itu.

Yang parah lagi, ada pula anak yang mendorong orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran, Wallaahul musta’an.

Perhatikanlah orang yang tertipu disebabkan anak-anaknya dan tidak mensyukuri nikmat Allooh ini! Ia adalah seorang kafir Makkah bernama Khalid bin Mughirah. Allooh Subhannahu Ta’ala berkata tentangnya:
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.
Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak,
dan anak-anak yang selalu bersama dia,
dan Ku-lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya,
kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.
Sekali-kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (al-Qur’an).
Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. (QS. Al-Muddatstsir: 11-17)
Dia adalah lelaki yang dikarunia anak-anak dan Allooh menjadikan ia selalu bersama mereka untuk mengais rizki. Bahkan rizki lah yang mengelilinginya. Dan anak-anaknya senantiasa berada di sisi nya menjadi hiburan baginya. Walau demikian, ia tidak mensyukuri nikmat Allooh, bahkan dibalasnya dengan kekufuran.
Akibatnya, Allooh Subhannahu Ta’ala berfirman:
Aku akan memasukkannya ke dalam Saqar.
Tahukah kamu apa (naar) Saqar itu
Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.
(Naar Saqar) adalah pembakar kulit manusia. (QS. Al-Muddatstsir: 26-29)

Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari fitnah (godaan) ini?
Jadikanlah cinta pertama kita untuk Allooh Subhannahu Ta’ala. Jadikan manusia yang paling kita cintai adalah Rosul-Nya dan bertakwalah kepada Allooh dalam mengurus mereka.

Rosulullooh Shololloohu ‘alahi Wassallam mengajarkan bahwa di antara yang dapat menghapuskan keburukan akibat godaan anak adalah mengerjakan sholat, puasa, shodaqoh dan beramar ma’ruf nahi munkar. Rosulullooh Shololloohu ‘alahi Wassallam bersabda:
“Gangguan menimpa seseorang disebabkan keluarga, harta, anak, diri dan tetangganya dapat dihapuskan oleh puasa, sholat, shodaqoh dan beramar ma’ruf nahi munkar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Walloohu a’lam bish showab.

*Ditulis ulang oleh Ummu Tsaqiif al-Atsariyyah dari buku “Mencetak Generasi Robbani, Pustaka Darul Ilmi untuk jilbab.or.id* Jilbab online

Sabtu, 05 Februari 2011

MENANGKAL PEMURTADAD KRISTENISASI

Mukaddimah
Gejala pemurtadan yang dialami umat Islam di Indonesia mengalami eskalasi yang luar biasa. Hal itu ditandai dengan data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1990, tercatat bahwa dari 200.000.000 (dua ratu juta) jiwa, prosentasi umat Islam mencapai 87,3% (dibulatkan menjadi 90%). Sementara umat Kristen protestan hanya 6%, umat Katolik hanya 3,6%, Hindu 1,8%, Budah 1% dan agama lain 0,3%. Sebagai mujahid kita tidak boleh berbangga dengan besarnya angka-angka mayoritas di atas, sebab data-data terkini mencatat bahwa jumlah umat Islam menurun drastis dari 90% menjadi 75% (Tabloid STAR edisi no. 43, tanggal 18-24 Nopember 1999, hal. 41).
Oleh karena itu, kita sebagai umat bertanggung jawab untuk menyelamatkan mereka yang menjadi target pemurtadan tersebut. Semoga dengan mengungkap fakta dan data realitas pemurtadan yang dialami oleh umat Islam dapat kiranya memperoleh perhatian serius untuk membuat langkah-langkah kongkrit guna menangkalnya. Karena, membela agama adalah kewajiban dasar bagi setiap muslim.
Tiga Serangkai
Kristenisasi, orientalisme dan penjajahan menjadi tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing mempunyai tugas untuk menghancurkan umat Islam.
Kristenisasi bertugas untuk merusak akidah, orientalisme memporak-porandakan pemikiran Islam dan penjajahan melumpuhkan fisik.
Mereka bersusah payah siang malam untuk memadamkan cahanya agama Allah. Namun, walau bagaimana pun akhirnya kemenangan berada di pihak Islam.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sedang Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahanya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci," (at-Taubah: 32).
Penjajahan fisik sudah berakhir di dunia Islam, namun tujuan penjajahan masih terus dicanangkan dan dijalankan oleh kristenisasi dan orientalisme. Hanya saja sarananya berbeda. Sarana yang dipergunakan oleh musuh Islam yang dimotori oleh jiwa kristiani adalah planning budaya melalui lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, yayasan penyantun, bantuan-bantuan, media cetak, media elektronika dan sebagainya.
Pada tahun 1924, Raymond Lull berhasil menemui Paulus V. Dia mengajukan dua buku yang mencakup dua rancangan Lull untuk mengkristenkan umat Islam.
Pertama, menjadikan ilmu dan sekolahan sebagai sarana kristenisasi. Kedua, kristenisasi dengan kekerasan jika tidak dapat dicapai dengan cara halus, (lihat al-Isti'mar wat Tabsyiir, Dr. Umar Farukh dan Dr. M. Khalidi, hal. 77).
Adwin Balls menyatakan dalam bukunya Sejarah Ringkas Misionarisasi, bahwa Raymond Lull yang berkebangsaan Spanyol, sebagai orang pertama yang mengemban kristenisasi di dunia Islam setelah kegagalan Perang Salib.
Ia besusah payah belajar bahasa Arab dan berkeliling dunia Islam untuk mendebat ulama Islam, (lihat La Couquette Du Monde Musulman, A. Le Chatelier, terjemahan M. Khatib, hal. 29 dan 262).
Tujuan utama misionaris zending adalah menyeret orang-orang Islam ke Kristen. Jika hal itu sulit dilakukan, maka akan ditempuh dengan cara mengaburkan pengertian Islam bagi mereka. Dari segi religi, apakah mereka masuk Kristen atau tetap Islam, itu tidak penting. Segi politik, misioner sebagai antek-antek dan mata-mata penjajah Eropa demi merusak kesatuan Islam. Tujuan itu diperjelas oleh Pendeta Simon, misionaris adalah faktor penting sebagai penghancur kekuatan persatuan umat Islam, (lihat Mabahits fits Tsaqofah Islamiyah, Dr. Nukman Samarrani, hal. 174).
Negara yang pertama kali mengembangkan kristenisasi adalah Belanda yang pernah menjajah Indonesia dan memecah Jawa menjadi kawasan-kawasan yang dibangun untuk gereja dan sekolahan. Kemudian langkah tersebut diikuti oleh negara Eropa lainnya, (lihat al-Isti'mar wat Tabsyiir, Dr. Umar Farukh dan Dr. M. Khalidi, hal. 37).
Memang, musuh-musuh Islam sangat memperhitungkan umat Islam, melihat pengikut yang demikian cepat bertambah banyak, sehingga apabila mereka menjadi satu di bawah kesatuan bendera untuk menuju cita-cita Islam akan menjadi momok bagi dunia. Maka, upaya pemecahannya terus dilakukan untuk menghindarkan titik temu tersebut, disamping memang ajaran Kitab suci Kristen mengharuskan penyebaran agama, (lihat Injil Matius, 28:29 dan Marcus, 16:15).
Strategi penyebaran ditujukan pada sasaran Non Cristian World (negara selain Kristena) dan Non Roman Catholic Word (negara selain Katolik Roma) termasuk warga Kristen yang bukan di bawah pengaruh Paulus, disebut juga Schismatics dan Heretucs. Dalam buku yang berjudul Out Line of Hostory of Protestan, G. Warneck, hal. 155 dijelaskan bahwa di dunia terdapat dua blok gereja Katolik, yaitu:
1. Terra Cathclica (bagian negara-negara Katolik).
2. Terra Missions (bagian negara-negara yang di bawah misionaris).
Selain itu, terdapat juga dua macam organisasi misionaris yang dinamakan Mission Aid Societies dan Mission Zending Societies, (lihat The Encyclopedia for School and Home, Oo 7, P. 234).
Pergoloakan pengaruh di dunia memang cukup terasa, sehingga menjadikan kalangan pemimpin menunjukkan kekhawatirannya, terutama pada pengaruh Islam. Sebagaimana pernyataan Sowrens Brown, "Banyak para pemimpin yang khawatir akan bahaya berbagai bangsa, tetapi kekhawatiran itu sebenarnya kurang beralasan."
"Mereka takut pada Yahudi, Jepang dan Komunis. Padahal, Yahudi sebenarnya adalah sahabat kita, komunis adalah sindikat kita danJepang masih ada negara-negara demokrat yang akan melawannya. Tapi, kami melihat bahaya sebenarnya itu terdapat pada Islam, (lihat Dammirul Islam Abiidu Ahlahu, Jalal Amin, hal. 37).
Jadi Islam dikerumuni oleh musuh dari segala arah. Dari dalam digerogoti oleh munafikin (kelompok hipokrat), fasikin (kelompok yang menamakan dirinya Islam tapi mereka meninggalkannya) dan mudhallibin (kelompok yang berafiliasi pada Islam tetapi merobek-robek dari dalam. Misalnya Ahmadiyah, Islam Jama'ah, tarekat, dan lainnya). Sedangkan dari luar, Islam terus dicurigai dan diserbu oleh kafirin (kelompok diluar Islam yang selalu memeranginya, seperti Komunis, Zionis dan lainnya). Tidak ketinggalan juga Kristen yang menjadikan Islam sebagai musuh dan medan. Itulah yang menjadikan Mr. Bills menerangkan bagaimana perkembangan kristenisasi di Afrika, dan hanya muslimlah (orang-orang Islam saja) musuh paling tengik, (lihat Al-Gharah alal Alam Islami, Muhibuddin al-Khatib, hal. 31-35).
Demikian itu merupakan tujuan di dunia luar. Sekarang marilah kita melihat lebih dekat lagi mengenai perkembangan kristenisasi di Indonesia. Dalam wawancara dengan majalah Al-Ummah tahun 1986, Dr. Fuad Fachruddin menyebutkan, "Menurut statistik Dewan Gereja Indonesia (DGI) di Indonesia terdapat 10.000 gereja protestan, 4.000 pendeta protestan, dan 9.000 misioner. Katolik mempunyai 8.000 gereja, 3.000 pendeta dan 6.000 misioner," (lihat majalah Al-Ummah terbitan Qatar, vol. 65, Januari 1986, hal. 45).
Sebagai bahan contoh, berdasarkan pada data Departemen Agama tahun 1997, jumlah pendeta Kristen di Propinsi Irian (Papua) sebanyak 9.564 orang, pendeta Katolik sebanyak 541 orang dan dai muslim sebanyak 2.489 orang. Sementara jumlah gereja Kristen mencapai 5.128 buah, gereja Katolik mencapai 1.280 dan masjid mencapai 1.169 buah.
Selanjutnya, kita ikuti penjelasan Prof. Dr. Rasyidi dalam konferensi yang telah diadakan pada tahun 1968 di Tokyo. Beliau mengemukakan realita yang dihadapi umat Islam di Indonesia, yang buruknya keadaan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dimanfaatkan oleh pihak missionaris zending untuk mengkristenkan orang-orang Islam di Indonesia, dengan cara-cara berikut:
1. Gereja di bangun di tengah-tengah desa Islam dan daerah pertanian.
2. Misionaris membeli tanah di daerah strategis dengan harga tinggi (berlipat dua bahkan tiga) dengan tujuan membangun gereja.
3. Bila pemilik tidak rela menjualnya, maka seseorang dikirim untuk membeli atas nama pribadi, kemudian dijual kepada pihak misionaris.
4. Gereja membagikan beras, uang dan pakaian.
5. Gereja meminjamkna kepada orang yang membutuhkan dengan syarat mau menyekolahkan anaknya ke sekolah misionaris.
6. Para bekas anggota partai Komunis yang sedang mendekam di penjara didekati oleh misioner untuk mengajukan bantuan beras dan keuangan kepada famili mereka secara kontinyu, selama mereka mau menandatangani perjanjian bahwa mereka mau masuk Katolik.
7. Para pekerja perusahaan tekstil yang kehilangan pekerjaannya ditawari bantuan seperti beras dan uang.
8. Rumah-rumah besar milik orang kaya yang meninggal dunia dan ditinggalkan untuk ahli waris dibeli oleh misionaris.
9. Beberapa toko dan tempat tinggal dirubah menjadi gereja.
10. Klub, ruang baca, perpusatakaan, kolam renang dan lapangan olah raga dibangun untuk pemuda non Kristen.
11. Wanita-wanita Kristen berusaha merayu pemuda muslim.
12. Pemuda-pemuda Kristen berusaha merayu wanita muslim.
13. Pemuda-Pemuda Kristen membujuk pemuda-pemuda muslim agar mau menonton bioskop dan datang ke tempat-tempat rekreasi untuk memberi rangsangan, kemudian diajak menemani mereka ke gereja.
14. Guru-guru agama Islam yang kebetulan menerangkan al-Qur'an yang berhubungan dengan Yesus, ditangkap oleh pejabat Kristen atau diadukan kepada pemerintahan oleh pemuda-pemuda Kristen.
15. Rumah-rumah keluarga muslim, termasuk rumah saya (Rasyidi) didatangi misionaris yang mendesak agar mau mendengarkan keterangan kepercayaan Kristen, (diambil dari The One World Only).
Demikianlah sekilas tentang gambaran mengenai kristenisasi, baik di dunia luar maupun di Indonesia.
Solusi Menghadapi Kristenisasi
a. Menguatkan kesadaran berislam.
b. Meningkatkan ukhuwah Islamiyah.
c. Memberdayakan lembaga-lembaga Islam (ormas, pendidikan, pesantren, perguruan tinggi dan lainnya).
d. Mengintensifkan kajian dan pelatihan tentang bahaya kristenisasi dan cara penangkalannya bagi aktivis dakwah.
e. Mengirim para da'i yang sudah dibekali pengetahuan yang cukup tentang Islam dan tantangannya ke daerah-daerah terpencil terutama daerah basis kristenisasi.
f. Terus menerus memberi penyadaran kepada umat Islam akan bahaya kristenisasi lewat berbagai media baik elektronik, cetak, maupun pengajian dan majelis taklim.
g. Menyelenggarakan lembaga khusus untuk kaderisasi penangkalan.
h. Selalu mengadakan studi lapangan tentang kondisi umat dan perkembangan kristenisasi dengan membuka berbaga macam termasuk berkedok Islam.
i. Mengefektifkan para muhtaddin atau muaallaf sebagai counter attack kepada gerakan-gerakan kristenisasi dalam membuat jaringan bagi mereka bersama para kristolog muslim.
j. Mengungkap fakta dan data kristenisasi kepada semua pihak, terutama kepada para pejabat muslim dengan metode power point agar mereka terbelalak atas kerja mereka.
k. Mengantisipasi gerakan penyusunan kekuatan kristenisasi melalu laskar-laskar mereka seperti laskar kristenisasi, laskar mahoni dan lainnya.
l. Menggalang kekuatan ulama dalam menangkal kristenisasi termasuk kebangkitan internasional dunia Islam.
Wallahua'lam
(Artikel disampaikan oleh Ust. Farid Ahmad Okbah, MA pada acara Training Dua Hari Perbandingan Agama dan Perlawanan Strategi Kristenisasi di Islamic Center Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi pada tanggal 23-24 Januari 2008).


Kamis, 03 Februari 2011

Bersaing dengan Para Lelaki

Seperti yang dipaparkan Syaikh Khalid Abu Syadi dalam salah satu karya terbaiknya Sibaq Nahwal Jinan (berlomba Menuju Surga) bahwa sebenarnya kita, orang-orang yang beriman tengah berada dalam sebuah perlombaan. Ya, perlombaan menuju jannah, surga. Hanya saja, tidak semua orang sadar bahwa mereka tengah berada di sirkuit perlombaan. Malah ada yang duduk-duduk di pinggir jalan dibawah pohon, padahal yang lain tengah sibuk berlari memerah keringat menuju garis finis. Ibnul Qayim mengibaratkan orang-orang seperti itu seperti orang yang memilih duduk dibawah pohon sampai pohon itu kering dan mati, dan akhirnya ia kepanasan. Padahal kawan-kawannya yang start bersamanya telah sampai di tujuan, lalu beristirahat.
Memang benar, hidup ini sebenarnya adalah perlombaan dan kita barangkali tidak sadar jika Allah mengingatkan berkali-kali akan hal ini. Allah berfirman, “Berlomba-lombalah kalian untuk mendapatkan ampunan dari rabb kalian dan jannahnya…” (QS. Al Hadid 21), “dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin;26)
Rasulullah SAW juga selalu menyadarkan para shahabat agar senantiasa berlomba, meskipun pemenangnya hampir selalu bisa ditebak, Abu Bakar ash Shidddiq. Tapi mereka semuanya berlomba berebut poin pahala terbanyak.
Nah, yang paling asyik dari perlombaan ini adalah, untuk mengikutinya tidak ada dibedakan antara laki-laki dan wanita dari segi peluang untuk menang. Artinya, wanita memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk memenangi lomba. Benarkah?
Kalau ini perlombaan menuju surga dengan berbagai amal kebaikan, bukankah wanita tidak seperti lelaki yang bisa melakukan hampir semua amal-amal besar seperti Jihad, mengiring jenazah, memimpin kaum muslimin, shalat jumah dan sebagainya?
Memang benar, secara poin-poin amal, ada amalan tertentu yang memang wanita tidak mendapat porsi sebesar lelaki. Tapi sebenarnya peluang untuk menang selalunya sama karena meskipun pada satu poin amal tertentu wanita tidak bisa melakukannya, tapi pada poin yang lain justu kebalikannya, laki-lakilah yang tidak mungkin berpeluang mendapatkannya. Coba kita simak riwayat berikut;
Dari Asma binti Zaid berkata, ’“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang ada di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu bagi laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan bersumpah setia kepada anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jumat, mengantarkan jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yamg mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda :
“Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab,”Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang diantara mereka kepada suaminya, meminta keridhaan suaminya, dorongan dan persetujuannya itu dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki.”
Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa disabdakan Rasulullah SAW.
Seharusnya ‘persamaan gender’ seperti inilah yang dimunculkan. Yaitu semangat untuk menyamai lelaki dalam hal mencari ridha ilahi. Bukan protes emansipasi yang emosional terhadap segala sesuatu yang berorientasi materi dan kadang tidak rasional. Tuntutan agar bisa sama-sama boleh bekerja di luar rumah, derajat yang sama dengan suami dalam keluarga, jatah yang sama dari warisan atau malah hak untuk sama-sama memiliki empat suami sebagaimana lelaki yang dibolehkan memiliki empat istri. Persamaan derajat semu yang sebenarnya adalah racun musuh-musuh Islam untuk merusak para muslimah.
Selain amal yang disebutkan dalam hadits tersebut masih ada lagi point emas yang bisa diraih oleh para muslimah dalam amal-amal shalih seperti menjaga janin, menyusui anak, mendidik mereka, juga berbagai ibadah yang diwajibkan atau disunahkan kepada manusia secara umum.
Kabar gembiranya, meskipun Asma mengatakan bahwa wanita tidak banyak diberi kesempatan berjihad, namun dalam kondisi tertentu, mereka dapat pula ikut berjihad dan mengambil poin dari amal paling mulia ini. Pada perang Yarmuk, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dalam jihad sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, beliau membicarakan tentang perjuangan mujahidan mukminin. Beliau berkata,” Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani.” Dalam bagian lain beliau berkata, ”Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu.”
Sekali lagi peluang untuk menang bagi muslimah sama dengan pria. Tinggal seberapa kuat semangat dan motivasi kita untuk menang ada dalam jiwa.
Nah, para muslimah, hendaknya kita segera kembali ke sirkuit dan bersiap untuk melesat. Wallahua’lam.
Disarih dr arrisalah